Sabtu, 19 Desember 2009

PENTINGNYA MEMAHAMI MANHAJ SALAF

Oleh Ustadz Abu Qotadah

Kaum Muslimin pada masa awal (masa Rasul, dan sebahagian besar masa shahabat) berada di atas Islam yang benar, berada dalam satu jama’ah, satu manhaj dan berada dalam satu jalan (Shirotol Mustaqim), sehingga muncullah kelompok-kelompok yang sesat, yang menyimpang dari jalan yang lurus, kemudian timbullah perselisihan diantara kaum Muslimin, maka keluarlah orang-orang Khowarij, dan muncullah Mu’tazilah, menyebarlah Syi’ah, bergentayanganlah Jahmiyah, dan menguasailah Ahlul Kalam pada belahan umat Islam. Sedang mereka mengklaim dirinya berada dalam kebenaran, mereka mengaku sebagai golongan yang selamat, dan merekapun berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk membela perkataan-perkataan mereka dan pendapat-pendapat mereka. Mereka memalingkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dari pada dzohirnya, kemudian mereka memahaminya dan mencocokkannya sesuai dengan madzhab yang mereka tempuh.

Ketika terjadi kenyataan semacam itu maka para ‘Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bangkit dan menganggap penting untuk menjelaskan dan menampakkan Madzhab As-Salafus Shaleh, dan menjelaskan apa yang mereka tempuh dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, apa yang mereka tafsirkan, agar kaum Muslimin mengetahui apa yang mereka tempuh, mengetahui ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan mereka, sehingga kaum Muslimin memahami bahwa setiap keyakinan, ucapan, dan perbuatan dalam agama ini yang menyalahi mereka (Salafu Shaleh) adalah menyimpang dan sesat. Sebab mereka (Salafu Shaleh) adalah orang yang paling paham terhadap nash-nash Syar’i, mereka adalah yang paling adil, paling jujur, paling luas ilmunya, paling sedikit menggunakan akal, mereka adalah paling dekat dengan sinar kenabian dan wahyu, dimana dua cahaya itu masih menyinari mereka, menunjukan mereka terhadap yang haq dan menunjukan mereka terhadap jalan yang lurus. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Allah dan orang-orang yang kita diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengikuti mereka, juga mereka adalah yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an, mereka mengetahui apa yang dikehendak Allah dan Rasul-Nya, melalui lisan Rasul-Nya, serta mengetahui asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat), maka dengan dasar ini semua maka para ‘Ulama Ahli Sunnah Waljam’ah melandaskan manhajnya kepada cara dan metode Salafus Shaleh (dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut-Tabi’in). Maka dengan dasar ini para ‘Ulama Ahli sunnah Waljama’ah mereka mencurahkan perhatian yang besar untuk menjelaskan Manhaj Salaf dan Aqidah Salaf agar menyelamatkan umat dari manhaj-manhaj yang baru dan menyimpang dari manhaj kenabian.

Mereka memahami bahwa tidak ada yang bisa mengembalikan umat ini kepada kejayaan semula dan menyelamatkan mereka dari malapetaka dan keburukan kecuali bila umat ini kembali kepada manhaj kenabiaan. Kemudian disamping itu bahwa manhaj salaf adalah dapat diketahui secara riwayat dari mereka, dan bukan hanya pengakuan belaka sebagai mana yang dialakukan Ahli bid’ah, tapi ketika para ‘Ulama menjelaskan madzhab Salaf, maka mereka menyebutkannya dengan sanadnya, sebab sanad adalah merupakan ciri dari agama ini, dan Syari’at Islam ini hanyalah diketahui dengan sanad ( periwatan).

Di bawah ini contoh-contoh karya para ‘Ulama yang menunjukan ihtimam (perhatian) mereka terhadap madzhab Salaf.
1. Abu Bakar ibnu al-Atsram : belau menyusun kitab As-Sunnah.
2. Ibnu Abi ‘Aashim dan Muhammad Nasr Al-Mawarzy “ beliau menulis Kitab As-Sunnah.
3. Al-Hasan bin ‘Ali Al-Barbahary baginya kitab As-Sunnah.
4. Muhammad bin Nasr Al-Mawarzi baginya kitab As-Sunnah.
5. Al Imam Ath-Thobari baginya kitab Shorihus Sunnah.
6. Ibnu Khuzaimah baginya Kitab Tauhid.

Dan yang lainya seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyim, Ibnu Katsir, Adz-Dzahaby, sampai sekarang ini seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Albany, Muqbil ibnu Hady Al-Wadii’, Rabi’ ibnu Hadi Al-Madkholy, dan yang lain-lain.

Di antara ucapan mereka berkata Al-Imam Al-Auza’i : “Kami dan para Tabi’in sepakat berkata bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, dan kami beriman kepada seluruh sifat yang disebutkan di dalam Sunnah.”(Al-’ulu :102). Kalimat ini dilontarkan oleh Al-Imam Al-Auza’i sebagai bantahan terhadap kelompok Mu’athilah yang mengingkari Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy-’Ariyyah dan orang- orang sufi yang berpendapat hululiyyah dan Ittihadiyyah.

Al-Imam Abu Hatim berkata: Saya menemui para ‘Ulama di setiap pelosok, (Hijaz, ‘Iraq, Syam, Yaman) Maka mereka berkata bahwasannya Iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, (Syarhu Ushul-’Itiqod :1:172). ini adalah merupakan bantahan terhadap aliran-alirann sesat seperti Murji’ah yang berpendapat bahwa amal jawarih tidak termasuk Iman dan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Al Imam Al-Khothoby berkata : Madzhab Salaf dalam sifat Allah menetapkan dan memberlakukan menurut dhohirnya, serta menafikan kaifiyyah dan menafikan penyerupaan dengan makhluk.

Manhaj ini dapat kita ketahui dengan menelaah dan mengkaji perkataan mereka lewat kitab-kitab yang ma’ruf. Karena kita ketahui di mana agama ini dijaga dengan sanad, dan sanad merupakan bagian dari agama.

Berkata Muhammad Ibnu Sirin:إن هذاالعلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

“Sesungguhnya ilmi ini ( ilmu sanad) adalah agama maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu”.

Al Imam Abdulah ibnu Mubaroh berkata: Isnad adalah termasuk agama kalau tidak isnad maka orang berkata semaunya.

Yang dimaksud mereka adalah bahwa agama ini akan diketahui kebenarannya dengan sanad. Untuk memastikan kita lihat contoh yang menarik dialognya Imam Ahmad dengan seorang menganut aliran mu’tazilah yang mengatakan Al Quraan adalah makhluk, bagaimana beliau berhujah dengan manhaj Salaf.

Al Imam Al AaJurri berkata: “Dikisahkan kepadaku dari al-Muhtadi bahwasannya ia berkata: ‘Tidak ada yang dapat menghentikan aksi ayahku (yakni al-Watsiq) kecuali seorang syaikh (yakni Imam Ahmad) yang di bawa dari Mashishah. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa waktu. Kemudian pada sesuatu hari ayahku ingat kepadanya. Ayahku berkata : “Bahwa Syaikh itu kehadapanku!” Lalu iapun dibawa dalam keadaan terbelenggu. Ketika Syaikh itu tiba iapun mengucapkan salam kepada ayahku. Namun ayahku tidak membalas salamnya. Syaikh itu berkata : “Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak memperlakukanku dengan adab yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya SesungguhnyaAllah berfirman :

“ Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, makabalaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah ( dengan yang serupa ) (QS: 4:86) “

dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita membalas salam !”

Ayahku pun membalas salamnya: ’Wa‘alaikas salam!’ balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwad: “Tanyalah kepadanya!” Syaikh itu berkata: “Wahai Amirul Mukminin, saya dalam terikat seperti ini, saya mengerjakan sholat dalam sel tahanan dengan bertayamum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan sholat setelah itu tanyalah apa yang ingin ditanyakan kepadaku.”

Lalu ayahku memerintahkan pengawal agar melepas ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu mengerjakan sholat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Duwad: “Tanyalah kepadanya !”

“Sayalah yang semestinya bertanya kepadanya, suruh ia menjawab pertanyaanku!” potong Syaikh tersebut.

“Silahkan ! “ sahut ayahku.

Maka Syaikh itupun mendatangi Ibnu Abi Duwad dan bertanya kepadanya: “ Kabarkan kepadaku tentang perkara yang engkau propagandakan kepada manusia, apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam ?”

“Tidak!” jawab Ibnu Abi Duwad.

“Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq setelah beliau ?” lanjut Syaikh tersebut.

“Tidak!” Jawabnya.

“Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Umar bin al-Khaththab ?” tanyanya lagi.

“Tidak!” jawabnya.

“Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Ustman bin Affan ?” jawabnya lagi.

“Tidak!” jawabnya.

“Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Ali bin Abi Thalib ?” lanjut Syaikh itu

“ Tidak !” tegas Ibnu Abi Duwad.

Syaihkh itu berkata : “Sesuatu perkara yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali lalu Anda mendakwahkannya kepada Umat manusia ?” Tidak bisa tidak anda harus berkata : “ Mereka ( para sahabat ) mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya ! Namun mereka tidak menyuarakannya. Maka cukuplah bagi kita semua apa yangtelah cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! Jika Anda katakana : “ Mereka tidak mengetahuinya ! Tetapi sayalah yang mengetahuinya! Maka sungguh celaka Anda ini ! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salamdan para Khulafaur Rasydin tidak mengetahuinya sementara anda dan rekan-rekan Anda mengetahuinya!.

Al-Muhtadi berkata : “ Saya lihat ayahku langsung berdiri dan masuk ke dalam haira, ia terawa sambil menutub wajahnyadengan bajunya dan berkata: “Benar juga, tidak bisa tidak kita harus mengatakan : “ Mereka mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika kita katakana: “Mereka mengetahuinya! Namu mereka tidak menyuarakanya. Maka cukuplah bagi kita semua apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! Jika kita katakana : “Mereka tidak mengetahuinya! Andalah yang mengetahuinya! Maka sungguh celaka kita ini Rasulullah r dan para khulafaur Rasyidin tidak mengetahuinya sementara Anda danrekan ana mengetahuinya!”

Kemudian ayahku berkata : Hai Ahmad !”

“Labbaika!” jawabnya.

“Bukan kamu yang saya maksud, tapi Ahmad bin Abi Duwad!” sahud ayahku.

Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya. Ayahku berkata “Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkan ia dari negeri kita!”

Dalam sebuah riwayat yang dibawakan oeh Imam Adz-Dzahabi dalam “As-Siyar” disebutkan: ”…Maka jatuhlah pamor Ibnu Abi Duwat dalam pandangan ayahku, dan beliau tidak pernah lagi menguji orang dengan keyakinan sesat tersebut (keyakinan Al-Qur’an sebagai makhluk )!”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Al-Muhtadi berkata: ”Sayapun insyaf dari keyakinan sesat tersebut dan semenjak saat itu ayah saya pun insaf darinya.”

Coba perhatikan, argumentasi Imam Ahmad dengan mengembalikan keabsahan perkara besar tersebut kepada sirah salafus shaleh, langsung memadamkan kontroversi seputar masalah yang diperselisihkan itu. Dan menjadi penyebab sampainya hidayah kepada al-Watsiq dan al-Muhtadi, sebagaimana dituturkan dalam kisah tersebut. Ini merupakan bukti bahwa kaidah tersebut sangat fundamental. Camkanlah selalu !.

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Hati-hatilah kamu untuk berkata dalam satu permasalahan ( agama)yang tidak ada pendahulu bagimu.

Al Imam Abu Mudhofar As Sam’any berkata: kita diperintahkan untuk mangikuti dan dilarang untuk berbuat bid’ah, dan syiar ahli sunnah adalah mengikuti salafus sholeh, dan meninggalkan satiap bid’ah.

Syeikhul Islam bin Taimiyyah berkata: Barangsiapa yang menafsirkan Al Quraan dan hadits dengan tafsir yang tidak dikenal dari para shahabat dn para tabi’in, maka berarti dia telah mengada-adakan atas nama Allaah, dia telah menyelewengkan ayat-ayat Allah, memalingkan ucapan dari tempatnya (dari semestinya), hal ini akan membukan peluang bagi oaring-orang zindik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar