Minggu, 27 Desember 2009

Kalau Saja Hati Kita Seperti Kaca

Kalau HIV adalah wabah yang menyerbu kampung kita,
Tentu cerdas bila sang Ustadz menyentil dalam khutbahnya,
Namun lebih cerdas lagi, bila ia tempatkan dalam konteksnya,
karena HIV bukanlah fenomena lokal semata,
maka menangkalnya perlu sinergi dari ketaqwaan manusia,
kontrol sosial lingkungannya, dan kepedulian negara,
bahkan lintas negara karena global cakupannya.

Kalau pelacuran adalah malapetaka kota kita,
Tentu syar'ie mengupasnya di majlis-majlis dzikir di sana,
Namun lebih syar'ie untuk membahasnya
tak sekedar dari dosa dan pahala,
Karena bisnis tertua itu adalah limbah dari sistem ekonomi yang berkuasa,
Yang menindas hak-hak kaum dhuafa
dan mencampakkan peran keluarga,
Maka harus dari segala mata angin penangkalnya,
Mulai dari diri sendiri, termasuk dari diri para penguasa.

Kalau Imam Samudra sudah mengakui dialah pelakunya,
Tentu cerdas bila sang Ustadz mencegah pelaku berikutnya,
Karena aksi-aksi teror mereka bukanlah jihad yang sejatinya,
Mungkin radikalitas mereka hanya diperalat agen-agen maya,
Yang tak pernah dapat kita bongkar jati dirinya,
Sebab kita selalu menghindar berpikir ke sana.

Kalau Al-Faruq &Hambali dibawa ke depan kita buat bicara,
Siapa sesungguhnya mereka dan majikan yang menyuruhnya,
Tentu akan jelas semua duduk perkaranya,
Mungkin pada Israel dan Amerika tak perlu kita curiga,
Namun ada apa di balik semua kabut dan rahasia,
Yang mungkin tak kan terkuak berabad lamanya.

Kalau saja Islam cukup didakwahkan tanpa negara,
Tentu tak perlu Allah menurunkan beberapa ayatnya,
Yang ayat itu tak mungkin tanpa negara akan terlaksana,
Tentu tak perlu Rasul mencari Nushroh ke beberapa kabilah yang berkuasa,
Yang dengan itu sebuah sistem baru akan dikawalnya,
Namun sebuah negara tentu bukan sekedar jargon sederhana,
Di dalamnya diperlukan kelengkapan maha rumit dan tertata,
Di dalamnya diperlukan manusia-manusia
yang tak hanya bisa bicara,
Namun juga ihlas berkorban dan cerdas bekerja.

Kalau saja kita punya cukup waktu untuk duduk bersama,
Serta hati yang jernih untuk menyelami persoalan rumit agar jadi sederhana,
Tentu kita tidak perlu berkepala panas dan mulut hingga berbusa-busa,
Tentu kita tidak perlu kepada saudara kita berburuk sangka,
Karena kita masing-masing punya masa lalu yang berbeda,
Dengan endapan pengetahuan dan pengalaman aneka rupa,
Karena mungkin yang kita tahu tak lebih seujung kuku saja,
Atau boleh jadi apa yang kita sangka lawan kita perlu baca,
justru santapan kesukaannya di kala muda,
Karena boleh jadi apa yang kita yakini bermasa lamanya,
Besok berubah drastis karena secercah cahaya di dalam sukma,
Sebagaimana Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi hingga ubun-ubunnya,
Tiba-tiba menjadi pembela Islam yang paling terpercaya.

Kalau saja kita masih diberi usia senafas lamanya,
Tentu kita ingin nafas kita itu berjuta maknanya,
Bermanfaat bagi manusia tanpa pandang siapa Tuhan mereka,
Karena Baginda Rasul mencontohi begitu rupa,
Karena para Sahabat adalah generasi terkemuka,
Yang Allah ridha pada mereka,
dan penghuni langit mendoakannya,
Tentu kita harus kaji mendalam segala reniknya,
Dengan hati bening untuk menerima kebenarannya,
Sekalipun jerit nafsu kita ingin menolaknya.



(mus-lim@isnet.org 2004-10-05)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar