Senin, 12 Oktober 2009

Tata Cara Pengobatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

Setiap Penyakit Pasti Memiliki Obat..

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Hadits Riwayat Muslim)

Menelusuri Ruqyah Syar’iyyah

Merunut sejarahnya, ruqyah merupakan salah satu metode pengobatan yang cukup tua di muka bumi ini. Dengan datangnya Islam, metode ini kemudian disesuaikan dengan nafas dan tata cara yang sesuai syariat.

Ada akibat tentu dengan sebab. Yang demikian merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlaku di jagad raya ini. Memang ini tidak mutlak terjadi pada seluruh perkara. Namun mayoritas urusan makhluk tak lepas dari hukum sebab dan akibat. Hukum ini merupakan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lengkap dengan kebaikan. Makhluk mana pun tak bisa menggapai keinginannya kecuali dengan hukum sebab dan akibat. Di alam nyata ini, tak ada sebab yang sempurna dan bisa melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan sebab bagi segala sebab. Kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kekuatan yang selalu menuntut (memunculkan) akibat. Tak satu sebab pun bisa melahirkan akibat dengan sendirinya, melainkan harus disertai sebab yang lain yaitu kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan pada sebagian sebab, hal-hal yang dapat menggagalkan akibatnya. Adapun kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak membutuhkan sebab yang lain kecuali kehendak-Nya itu sendiri.

Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya (yang lain). Dialah yang menghendaki sesuatu lalu menghendaki lawan yang bisa mencegah terjadinya. Inilah sebab mengapa seorang hamba wajib memasrahkan dirinya, takut, berharap, dan berkeinginan hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengucapkan dalam doanya:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرَضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمَعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan pemeliharaan-Mu dari siksa-Mu. Dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ

Tak ada tempat selamat dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)

Di antara sekian akibat yang membutuhkan sebab adalah kesembuhan. Kesembuhan datang dengan sebab berobat. Namun, apakah setiap orang yang berobat pasti sembuh? Jawabannya tentu tidak. Karena kesembuhan itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dari obat atau orang yang mengobati. Obat akan manjur dan mengantarkan kepada kesembuhan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Karena itu, seorang yang berobat tidak boleh menyandarkan dirinya kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan kepada obat dan orang yang mengobati.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di antaranya:

1. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)

4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)

Dalam berobat, banyak cara yang bisa ditempuh asalkan tidak melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat dan meninggalkannya. Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang ada dalam permasalahan ini. Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.

Pertama, menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan, namun yang lebih utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu.

Kedua, menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’i rahimahullahu. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas para ulama terdahulu dan belakangan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar. Beliau berkata: “Menurut madzhab Abu Hanifah, berobat adalah perkara yang sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”

Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja, tidak ada yang lebih utama. Ini merupakan madzhab Al-Imam Malik rahimahullahu. Beliau berkata: “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa. Demikian pula meninggalkannya.” (Lihat Fathul Majid, hal. 88-89)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memiliki metode yang cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai berikut:

1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan, maka hukumnya wajib.

2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat, namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti, maka melakukannya lebih utama.

3. Bila dengan berobat diperkirakan kadar kemungkinan antara kesembuhan dan kebinasaannya sama, maka meninggalkannya lebih utama agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa disadari. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 2/437)

Secara garis besar, berobat merupakan perkara yang disyariatkan selama tidak menggunakan sesuatu yang haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari obat yang buruk (haram).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Ibnu Majah, 2/255) [Lihat kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im karya Dr. Fahd As-Suhaimi, hal. 21)

Di antara cara pengobatan yang disyariatkan adalah melakukan ruqyah. Akhir-akhir ini, pengobatan dengan ruqyah memang marak diperbincangkan dan dipraktekkan di tengah kaum muslimin negeri ini. Padahal sebelumnya pengobatan dengan ruqyah tidak banyak diketahui oleh mereka.

Sayangnya, sebagian kelompok menjadikan ruqyah sebagai arena untuk mengundang simpati publik demi kepentingan yang bernuansa politik. Mereka beramai-ramai membuka ruqyah center di berbagai tempat guna memenuhi kebutuhan massa yang ‘haus’ akan pengobatan ruqyah. Namun sudahkah praktek ruqyah itu mencocoki tuntunan syariat Islam? Pertanyaan ini harus dijawab dengan ilmu yang benar, bukan dengan semangat belaka.

Oleh karena itu perlu pembekalan ilmu yang dapat mengenalkan kaum muslimin kepada ruqyah syar’i yang tepat sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sehingga mereka terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang salah kaprah bahkan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu, marilah kita simak beberapa pembahasan berikut ini.

Definisi Ruqyah

Makna ruqyah secara terminologi adalah al-‘udzah (sebuah perlindungan) yang digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti panas karena disengat binatang, kesurupan, dan yang lainnya. (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir rahimahullahu 3/254)

Secara terminologi, ruqyah terkadang disebut pula dengan ‘azimah. Al-Fairuz Abadi berkata: “Yang dimaksud ‘azimah-‘azimah adalah ruqyah-ruqyah. Sedangkan ruqyah yaitu ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacakan terhadap orang-orang yang terkena berbagai penyakit dengan mengharap kesembuhan.” (Lihat Al-Qamus Al-Muhith pada materi عزم)

Adapun makna ruqyah secara etimologi syariat adalah doa dan bacaan-bacaan yang mengandung permintaan tolong dan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencegah atau mengangkat bala/penyakit. Terkadang doa atau bacaan itu disertai dengan sebuah tiupan dari mulut ke kedua telapak tangan atau anggota tubuh orang yang meruqyah atau yang diruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh yang berjudul Ar-Ruqa wa Ahkamuha oleh Salim Al-Jaza`iri, hal. 4)

Tentunya ruqyah yang paling utama adalah doa dan bacaan yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Ibid, hal. 5)

Ruqyah di Masa Jahiliyyah

Setiap manusia yang mengerti kemaslahatan tentunya selalu ingin menjaga kesehatan tubuh dan jiwanya. Barangsiapa bisa memenuhi keinginan ini berarti karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dirinya cukup besar. Sehingga wajar jika pengobatan ruqyah telah dikenal secara luas di tengah masyarakat jahiliyyah.

Ruqyah adalah salah satu cara pengobatan yang mereka yakini dapat menyembuhkan penyakit dan menjaga kesehatan. Kala itu, ruqyah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti tersengat binatang berbisa, terkena sihir, kekuatan ‘ain (mata jahat), dan lainnya.

Namun yang disayangkan, ruqyah sering menjadi media untuk penyebarluasan berbagai kesyirikan di kalangan mereka. Pengobatan ruqyah yang dilakukan tak luput dari pelanggaran syariat. Di antaranya adalah pengakuan mengetahui perkara ghaib, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyandarkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlindung kepada jin, dan lain-lain.

Setelah Islam datang, seluruh ruqyah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Islam mengajarkan kaum muslimin untuk berhati-hati dalam menggunakan ruqyah. Sehingga mereka tidak terjatuh ke dalam pengobatan ruqyah yang mengandung bid’ah atau syirik.

‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:

كُنَّ نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 2200)

Kebanyakan manusia terpedaya dengan penampilan ‘shalih’ dari orang yang meruqyah. Sehingga mereka tak lagi memperhatikan tata cara dan isi ruqyah yang dibacakan.

Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh hafizhahullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya) berkata: “Penyebaran kesyirikan banyak terjadi di negeri-negeri Islam melalui para tabib, orang yang mengobati dengan ramu-ramuan dan mengobati dengan Al-Qur`an. Ibnu Bisyr menyebutkan pada permulaan Tarikh Najd, di antara faktor penyebab tersebarnya kesyirikan di negeri Najd adalah keberadaan para tabib dan ahli pengobatan dari orang-orang Badwi di berbagai kampung sewaktu musim buah. Manusia membutuhkan mereka untuk keperluan meruqyah dan pengobatan. Maka mereka memerintahkan manusia dengan kesyirikan dan cara-cara yang tidak disyariatkan….” (Ibid, hal. 2)

Hukum Ruqyah

Ruqyah telah dikenal oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Islam. Tetapi kebanyakan ruqyah mereka mengandung kesyirikan. Padahal Islam datang untuk mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Alasan inilah yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para shahabat radhiallahu ‘anhum untuk melakukan ruqyah. Kemudian beliau membolehkannya selama tidak mengandung kesyirikan. Beberapa hadits telah menjelaskan kepada kita tentang fenomena di atas. Di antaranya:

1. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani juga menshahihkannya. Lihat Ash-Shahihah no. 331)

2. Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

كُنَّ نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?” Beliau menjawab: “Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 2200)

3. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوْهَا عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Lalu keluarga ‘Amr bin Hazm datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Tetapi engkau telah melarang dari semua ruqyah.” Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada beliau. Beliau bersabda: “Tidak mengapa, barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)

4. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

كَانَ لِيْ خَالٌ يَرْقِي عَنِ الْعَقْرَبِ، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى وَأَنَا أَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ, فَقَالَ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Dahulu pamanku meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Maka pamanku mendatangi beliau, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melarang dari segala ruqyah, dan dahulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)

5. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

كُنْتُ أَرْقِي مِنْ حُمَةِ الْعَيْنِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَلَمَّا أَسْلَمْتُ ذَكَرْتُهَا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اعْرِضْهَا عَلَيَّ. فَعَرَضْتُهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: ارْقِ بِهَا فَلاَ بَأْسَ بِهَا

Di masa jahiliyyah dulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking dan ‘ain (sorotan mata yang jahat). Tatkala aku masuk Islam, aku memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Perlihatkan ruqyah itu kepadaku!’ Lalu aku menunjukkannya kepada beliau. Beliau pun bersabda: ‘Pakailah untuk meruqyah, karena tidak mengapa (engkau) menggunakannya’.” (HR. At-Thabrani dan dihasankan oleh Al-Haitsaimi dalam Majma’ Az-Zawa`id. Lihat tahqiq Al-Huwaini terhadap kitab Al-Amradh karya Dhiya`uddin Al-Maqdisi, hal. 220)

6. Dari Syifa` bintu Abdullah radhiallahu ‘anha:

أَنَّهَا كَانَتْ تُرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ اْلإِسْلاَمُ، قَالَتْ: لاَ أَرْقِي حَتَّى اسْتَأْذَنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَيْتُهُ فَاسْتَأْذَنْتُهُ. فَقَالَ عَنْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ارْقِي مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهَا شِرْكٌ

Dahulu dia meruqyah di masa jahiliyyah. Setelah kedatangan Islam, maka dia berkata: ‘Aku tidak meruqyah hingga aku meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu dia pun pergi menemui dan meminta izin kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Silahkan engkau meruqyah selama tidak mengandung perbuatan syirik’.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan yang lainnya. Al-Huwaini berkata: “Sanadnya muqarib.” Ibid, hal. 220)

Demikianlah mereka melakukan ruqyah di masa jahiliyyah. Ruqyah mereka mengandung perbuatan syirik sehingga dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membolehkannya bagi mereka selama tidak mengandung kesyirikan. Beliau membolehkannya karena ruqyah itu bermanfaat bagi mereka dalam banyak hal.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bahwa hukum asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang tampak dari ucapannya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah.’ Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara mutlak. Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah yang syirik dan tidak dipahami. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu berpengaruh dengan sendirinya. Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari diri mereka yang demikian itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya dan lebih menutup jalan (menuju syirik). Selanjutnya ketika mereka bertanya dan mengabarkan kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau memberi keringanan sebagiannya bagi mereka. Beliau bersabda: ‘Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (Ahkamur Ruqa wa At-Tama`im hal. 35)

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ

Tidak ada ruqyah kecuali karena ‘ain (sorotan mata yang jahat) atau humah (sengatan kalajengking).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu)

Menurut sebagian pendapat bahwa ruqyah tidak diperbolehkan kecuali karena dua hal yang telah disebutkan dalam hadits di atas. (Lihat Fathul Bari, 10/237, cetakan Darul Hadits)

Ini adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan sabdanya tersebut untuk melarang ruqyah pada yang selain keduanya. Yang beliau maksudkan bahwa ruqyah yang paling utama dan bermanfaat adalah ruqyah yang disebabkan karena ‘ain atau humah. Hal ini terlihat dari uraian hadits. Ketika Sahl bin Hunaif terkena ‘ain, dia bertanya: “Adakah yang lebih baik dalam ruqyah?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ

Tidak ada ruqyah kecuali karena satu jiwa dan humah (sengatan kalajengking).

Demikian pula hadits-hadits yang lain, baik yang bersifat umum atau khusus, seluruhnya mengarah kepada makna di atas. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/161, cet. Muassasah Ar-Risalah)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Para ulama berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan untuk membatasi ruqyah hanya pada keduanya dan melarang dari selain keduanya. Yang beliau maksudkan adalah tidak ada ruqyah yang lebih benar dan utama daripada ruqyah karena ‘ain dan hummah karena bahaya keduanya sangat dahsyat.” (Syarh Shahih Muslim 14/177, cet. Al-Maktab Ats-Tsaqafi)

Syarat-syarat Ruqyah

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:

1. Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.

2. Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.

3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mereka berselisih mengenai tiga hal di atas bila dijadikan sebagai syarat. Yang kuat adalah pendapat yang mengharuskan untuk memenuhi tiga syarat yang disebutkan.” (Fathul Bari, 10/237)

Dengan penjelasan di atas, berarti segala ruqyah yang tidak memenuhi tiga syarat itu tidak diperbolehkan. Jika kita rinci, ada tiga jenis ruqyah yang tidak diperbolehkan:

1. Ruqyah yang mengandung permohonan bantuan dan perlindungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ruqyah-ruqyah seperti ini sering dipakai oleh para dukun, tukang sihir, dan paranormal. Mereka memohon bantuan dan perlindungan dengan menyebut nama-nama jin, malaikat, nabi, dan orang shalih. Terkadang mereka melakukan kesyirikan ini dengan kedok agama. Banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan sebagian mereka yang memakai atribut agama. Padahal ruqyah yang mereka lakukan dan ajarkan berbau mistik serta sarat dengan kesyirikan.

2. Ruqyah dengan bahasa ‘ajam (non Arab) atau sesuatu yang tidak dipahami maknanya.

Mayoritas ruqyah yang berbahasa ‘ajam mengandung penyebutan nama-nama jin, permintaan tolong kepada mereka, dan sumpah dengan nama orang yang mengagungkannya. Oleh karena itu, para setan segera menyambut dan menaati orang yang membacanya. Keumuman ruqyah yang tersebar di tengah manusia dan tidak menggunakan bahasa Arab banyak mengandung syirik. Demikian yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19/13-16)

Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami berkata: “Adapun ruqyah yang tidak memakai lafadz-lafadz Arab, tidak diketahui maknanya, tidak masyhur, dan tidak didapatkan dalam syariat sama sekali, maka bukanlah perkara yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah berada dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan hal itu merupakan bisikan setan kepada para walinya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ

Dan sesungguhnya para setan mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian.” (Al-An’am: 121)

Ruqyah semacam inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”

Hal itu karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apakah ruqyahnya menggunakan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, atau para setan. Dia pun tidak mengetahui apakah di dalamnya terdapat kekafiran atau keimanan, kebenaran atau kebatilan, kemanfaatan atau marabahaya, dan apakah itu ruqyah atau sihir. Demi Allah, mayoritas manusia benar-benar tenggelam dalam berbagai malapetaka ini. Mereka menggunakannya dengan bentuk yang cukup banyak dan jenis yang beraneka ragam….” (Ma’arijul Qabul, 1/406, cet. Darul Hadits)

Sebagian kalangan membolehkan setiap ruqyah, walaupun maknanya tidak diketahui, asalkan terbukti memberi kemanfaatan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga ‘Amr bin Hazm sewaktu mereka bertanya tentang ruqyah:

مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Aku lihat tidak mengapa. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya hendaklah dia lakukan.

Tetapi pendapat mereka ini terbantah dengan hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i. Dia meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa kalian menggunakan ruqyah-ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.

Hadits ‘Auf ini menunjukkan dilarangnya seluruh ruqyah yang mengarah kepada kesyirikan. Setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya, tidak dirasa aman, akan membawa kepada syirik. Sehingga setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya dilarang dalam rangka berhati-hati. (Lihat Fathul Baari, 10/237)

3. Ruqyah yang diyakini bahwa pelakunya bisa menyembuhkan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tentu yang demikian ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Karena ruqyah merupakan sebab, berarti pelaku ruqyah adalah pelaku sebab. Peruqyah ibarat dokter, sedangkan ruqyah ibarat obat. Obat adalah sebab dan dokter adalah pelaku sebab. Adapun pencipta sebab adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu sebab akan bermanfaat jika dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dahulu bangsa jahiliyah meyakini bahwa ruqyah dipastikan berpengaruh dengan sendirinya. Oleh karena itu mereka sangat mengagungkan ruqyah dan pelakunya. Ini merupakan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba diperintahkan untuk menjalani sebab untuk mendapatkan akibat. Namun hatinya tidak boleh bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta segala sebab dan akibat. Di tangan-Nya seluruh kekuasaan langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلاَ مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلاَ مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (Fathir: 2)

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ

Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)

Seorang hamba hendaknya mengharapkan kesembuhan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya bergantung kepada-Nya tatkala melakukan ruqyah.

Sifat-sifat Peruqyah dan Pasiennya

Ruqyah merupakan perkara yang disyariatkan. Tentunya seorang peruqyah perlu memperhatikan rambu-rambu syariat dalam meruqyah. Sehingga dia tidak ngawur dan melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaknya dia memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

Semestinya dia bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh ibadahnya tanpa sedikit pun berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika meruqyah, hendaknya mengikhlaskan permintaan tolong dan perlindungannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menggapai kemanfaatan dari ruqyah yang dia lakukan.

b. Memiliki ilmu syar’i tentang ruqyahnya.

Seharusnya dia mengetahui bahwa ruqyah yang digunakannya termasuk yang disyariatkan. Hendaknya dia mengambil ruqyahnya dari Al-Qur`an, As-Sunnah, dan doa-doa yang ma’ruf. Jika dia tidak mengetahui ruqyahnya disyariatkan atau tidak, semestinya bertanya kepada orang yang berilmu. Bila dia seorang yang bodoh, bukan ahlul ilmi, dan tidak mampu untuk menelaah ruqyah yang digunakan atau ditinggalkannya, berarti ini merupakan tanda bahwa dia tidak bisa. Dia tidak diperbolehkan bahkan tidak pantas diberi kesempatan untuk meruqyah.

c. Bertujuan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain.

Sudah seharusnya dia bertujuan dengan ruqyahnya itu untuk memberi kemanfaatan kepada saudaranya yang membutuhkan. Ini adalah sifat yang mulia dan dianjurkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya maka hendaknya dia lakukan.”

Memberi kemanfaatan kepada saudara kita yang membutuhkan atau sakit adalah perbuatan baik, yang sangat dituntut sesama hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hamba yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya.

d. Membuat orang yang diruqyah hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bila meruqyah, seharusnya dia tidak membuat orang yang diruqyah bergantung kepada dirinya. Jika dia telah sering meruqyah orang lain sampai sembuh, maka tidak perlu dia menceritakannya kepada yang akan diruqyah, sehingga tidak menimbulkan keyakinan yang salah terhadap dirinya. Sepantasnya dia menanamkan kepada orang yang akan diruqyah bahwa yang mampu menyembuhkan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Adapun ruqyah adalah sebab, demikian pula dirinya bukan pencipta akibat. Namun sangat disayangkan, kebanyakan peruqyah membuat orang yang diruqyah merasa yakin terhadap dirinya seolah-olah dialah yang menyembuhkan. Dalam hal ini korban yang paling banyak adalah para wanita dan orang-orang yang bodoh.

e. Khusyu’, tunduk, dan merendahkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah kelanjutan dari pembahasan yang sebelumnya. Seharusnya dia tidak membesar-besarkan dirinya di hadapan orang yang akan diruqyah. Sebagaimana dia juga tidak merasa besar terhadap dirinya sendiri. Niatnya adalah memberi kemanfaatan kepada orang lain dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan untuk merasa besar dan membesar-besarkan diri. Sehingga dia tidak membuat manusia bergantung kepada dirinya, tetapi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan di dalam As-Sunnah.

f. Menghindarkan diri dari celah-celah dosa dan fitnah.

Seharusnya dia tidak mengikuti langkah-langkah setan yang bisa menggelincirkannya ke dalam kubangan dosa dengan alasan ruqyah. Terlebih lagi bila yang diruqyah adalah wanita. Seringkali setan menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan peruqyah ke dalam dosa. Misalnya, setan menggodanya untuk berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang diruqyah padahal bukan mahramnya. Atau menggodanya untuk menyentuh bagian tubuh wanita itu dengan tangannya, dengan alasan agar ruqyahnya lebih manjur, dsb. Oleh karena itu, banyak dari kalangan peruqyah yang rusak agamanya setelah terlibat dalam dunia ruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus-Syaikh hal. 7-8)

Insya Allah nanti akan kita jelaskan praktek-praktek ruqyah yang menyimpang supaya kaum muslimin tidak mudah diperdaya oleh para peruqyah gadungan yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun orang yang diruqyah hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Memperbesar harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meminta pertolongan dan perlindungan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يَرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Jika Allah menimpakan kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Yunus: 107)

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ

Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 17-18)

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)

b. Meninggalkan rasa was-was.

Seharusnya dia tidak mengikuti rasa was-was yang muncul pada dirinya, karena hal itu berasal dari setan. Bila dia larut dalam rasa was-was itu, justru secara tidak langsung dia telah membantu setan untuk lebih menguasai dirinya. Karena itulah kita melihat kebanyakan orang yang tertimpa oleh penyakit was-was gampang dimasuki oleh jin atau terkena penyakit lainnya.

Di samping itu, orang yang dihantui perasaan was-was akan membayangkan hal-hal yang bersifat halusinasi, sehingga dia akan semakin lemah dan bertambah penyakitnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Maka wajib atas orang yang memiliki was-was untuk memperkuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalani berbagai sebab yang disyariatkan guna menyembuhkan penyakitnya. Demikian pula, hendaknya dia melawan segala rasa was-was itu dan tidak mengikutinya dengan cara berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

c. Mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan.

Seharusnya dia tidak selalu menggunakan orang lain dalam meruqyah dirinya. Hendaknya dia mulai menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu untuk meruqyah sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Kemudian dia bersungguh-sungguh mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan untuk dipakai meruqyah dirinya sendiri. Ruqyah-ruqyah yang dipelajarinya itu sangat bermanfaat guna mengobati atau membentengi dirinya dari berbagai gangguan setan dan penyakit. Untuk meruqyah dirinya, dia bisa membaca seperti surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Naas, Ayat Kursi, dan yang lainnya. Dia bisa membaca ruqyah-ruqyah itu sebelum tidur, di pagi dan sore hari, setelah shalat wajib, atau waktu-waktu lain sesuai dengan yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wirid-wirid yang dibacanya itu ibarat baju atau besi yang dipakai untuk membentengi dari beragama bahaya. Wirid-wirid itu adalah sebab yang bermanfaat untuk melindungi dirinya. Sedangkan pemberi manfaat dan penolak bahaya yang sebenarnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ibid, hal. 8)

Bacaan dan Tata Cara Ruqyah

Tentunya bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah mengharapkan kesembuhan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah. Ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penyembuh dari segala jenis penyakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)

Alam semesta ini adalah ciptaan, milik, dan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu berhadapan dengan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat pingsan dan tersungkur sujud tatkala mendengar firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit sana. Sedangkan langit-langit bergemuruh dengan dahsyat karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini telah dikabarkan oleh Rasul yang jujur lagi dibenarkan ucapannya, yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21)

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Termasuk perkara yang dimaklumi bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan kemanfaatan yang telah teruji. Maka bagaimana kita menganggap ucapan Rabb semesta alam ini? Tentunya keutamaan ucapan-Nya atas segala ucapan yang lain seperti keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya. Ucapan-Nya merupakan penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat, cahaya yang memberi petunjuk, dan rahmat yang menyeluruh. Ucapan-Nya yang sekiranya diturunkan kepada sebuah gunung niscaya akan pecah karena keagungan dan kemuliaan-Nya.” (Lihat Zadul Ma’ad cet. Muassasah Ar-Risalah hal. 162-163)

Berobat dengan Al-Qur`an adalah penyembuhan yang mujarab. Terlebih lagi jika dibacakan oleh seorang yang memiliki kekuatan iman. Dengan demikian, pengaruh bacaan itu akan bertambah ampuh untuk pengobatan segala penyakit dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyembuhan dengan Al-Qur`an tak hanya bagi penyakit jiwa, bahkan juga sangat mumpuni bagi penyakit jasmani. Cukuplah sebagai bukti konkretnya peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu (lihat rubrik Hadits). Hadits tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh Al-Qur`an bagi penyembuhan penyakit jasmani. Bila seorang muslim melakukannya dengan keyakinan penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya akan terealisasi dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Menurut sebagian kalangan, letak ruqyah dalam surat Al-Fatihah adalah pada firman-Nya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa dua kalimat ini termasuk bagian yang terkuat dari obat ini. Karena keduanya mengandung penyerahan, penyandaran, pemasrahan, permohonan tolong, permintaan, dan kebutuhan yang total kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, keduanya menggabungkan puncak segala tujuan, yaitu peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sarana yang paling utama yaitu permintaan tolong untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak terdapat pada selainnya.

Suatu ketika, aku pernah jatuh sakit di kota Makkah. Aku sama sekali tidak mendapatkan seorang dokter dan obat. Maka aku pun berobat dengan surat Al-Fatihah. Aku ambil minum dari air Zamzam dan kubacakan atasnya surat Al-Fatihah, lalu aku meminumnya. Aku pun sembuh secara total. Semenjak itu, aku selalu berpegang dengan cara pengobatan ini pada kebanyakan penyakit yang aku derita. Akhirnya aku benar-benar meraih manfaat dengan surat Al-Fatihah.” (Zadul Ma’ad, 4/164, cet. Muassasah Ar-Risalah)

Penyembuhan Al-Qur`an terhadap penyakit jiwa sangat manjur pula. Seperti untuk penyembuhan sempit dada, pengaruh sorotan mata yang jahat dan mampu merusak akal dan jiwa, kemasukan jin, kena sihir, dan lain-lain. Kesimpulannya, Al-Qur`an adalah obat bagi segala penyakit.

Selain Al-Fatihah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meruqyah dengan Al-Mu’awwidzat sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ – فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ – بِالْمُعَاوِذَاتِ. فَلَمَّا ثَفُلَ، كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Mu’awwidzaat dan meniupkannya dengan sedikit meludah atas diri beliau di masa sakit beliau yang membawa kepada kematiannya. Tatkala beliau merasa semakin parah, aku yang membacakan Al-Mu’awwidzaat dan meniupkannya atas beliau. Aku usapkan bacaan itu dan tiupan (ludah)nya dengan tangan beliau sendiri. Hal ini karena keberkahan tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya dengan judul Bab Meruqyah dengan Al-Qur`an dan Al-Mu’awwidzat. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan hal ini sebagai berikut: “Judul bab ini merupakan metode untuk mengikutkan hukum sesuatu yang khusus (Al-Mu’awwidzat) dengan sesuatu yang umum (Al-Qur`an). Karena yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat Al-Falaq, An-Naas, dan Al-Ikhlash sebagaimana telah lewat penjelasannya di bagian akhir Kitab At-Tafsir (dalam Shahih Al-Bukhari). Bisa jadi istilah Al-Mu’awwidzat di sini termasuk Bab At-Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yang biasa dipakai). Atau yang dimaksud (dengan Al-Mu’awwidzat) adalah surat Al-Falaq, An-Naas, dan seluruh ayat-ayat Al-Qur`an yang mengandung ta’awwudz (permintaan perlindungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Kemudian Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan sebuah ayat sebagai contoh ucapannya. Namun beliau mengatakan bahwa pendapat yang pertama lebih baik. Beliau menyebutkan pula sebuah hadits dengan sanadnya yang disebutkan di dalamnya: “Tak ada ruqyah kecuali dengan Al-Mu’awwidzat.” Lalu beliau berbicara tentang kelemahan hadits ini dari sisi periwayatannya. Menurut beliau, jika hadits ini shahih maka hukumnya telah dihapuskan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan untuk meruqyah dengan Al-Fatihah.

Setelah beberapa penjelasan, beliau pun berkata: “…Hal ini tidak menunjukkan larangan ber-ta’awwudz (berlindung) dengan selain dua surat ini (Al-Falaq dan An-Naas). Hal itu hanyalah menunjukkan keutamaannya. Terlebih lagi, telah ada dalil yang membolehkan ber-ta’awwudz dengan selain keduanya. Hanya saja beliau mencukupkan diri dengan keduanya, karena keduanya mengandung al-isti’adzah (perlindungan) yang ringkas dan padat dari segala perkara yang tidak disukai, baik secara global maupun rinci….” (Fathul Bari, 10/236-237 cet. Darul Hadits)

Bolehnya meruqyah dengan Al-Qur`an tak terbatas pada surat Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Naas, dan Al-Ikhlas. Karena Al-Qur`an secara keseluruhan merupakan obat bagi segala penyakit. Oleh karena itu, boleh meruqyah dengan ayat atau surat mana saja dari Al-Qur`an. Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Bila diperbolehkan meruqyah dengan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) yang keduanya merupakan dua surat dari Al-Qur`an, berarti meruqyah dengan yang selebihnya dari Al-Qur`an juga diperbolehkan. Karena seluruhnya adalah Al-Qur`an.” (Dinukil dari kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 38)

Demikian pula boleh meruqyah dengan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Al-Qur`an juga mengandung keduanya. Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Jibril ‘alaihissalam pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril bertanya: “Wahai Muhammad, apakah engkau mengeluhkan rasa sakit?” Nabi menjawab: “Iya.” Maka Jibril membacakan:

بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرٍّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيْكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ

Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu dan keburukan setiap jiwa atau sorotan mata yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (HR. Muslim)

Adapun doa-doa yang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah juga merupakan pengobatan yang mujarab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kata-kata yang ringkas dan padat (jawami’ul kalim) sehingga doa-doa yang beliau baca benar-benar barakah. Inilah keistimewaan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila kita memakai doa-doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah dengan keyakinan yang mantap, niscaya manfaatnya akan tampak nyata dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Namun bukan berarti tidak ada yang lain lagi. Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih untuk meruqyah dirinya atau orang lain maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:

1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas membaca:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا

Ya Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat lain dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Dahulu bila salah seorang dari kami mengeluhkan rasa sakit maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan membaca:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا

Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah dengan membaca:

امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ

Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila meruqyah beliau membaca:

بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا

Dengan nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:

أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim)

5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ

Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:

أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ

Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar)

6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan beliau membaca:

اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا

“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)

Cara-Cara Meruqyah

Perkara lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang peruqyah adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ruqyah adalah amal yang disyariatkan, maka hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban syariat. Berikut ini beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.

Inilah yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah at-tafal, dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita dengan meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan an-nafats dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam meruqyah. Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.

Adapun waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah, sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sedangkan yang lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

2. Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.

3. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari telunjuk, lalu meletakkannya di tanah kemudian mengusapkannya pada tempat yang sakit ketika melakukan ruqyah.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.

4. Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.

5. Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu membacakan ruqyah yang disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya sedikit air ludah. Kemudian dimandikan atau diminumkan kepada orang yang sakit, atau diusapkan ke tempat yang sakit.

Ini berdasarkan hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 548) dan hadits Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, An-Nasa`i serta yang lainnya, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1526). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa atsar sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur Razaq.

Demikian pula sebelum ini kami telah membawakan pengakuan Ibnul Qayyim bahwa ketika beliau sakit di Makkah pernah berobat dengan meminum air Zamzam yang dibacakan atasnya Al-Fatihah berulang kali. Selanjutnya beliau berkata: “Darinya aku memperoleh manfaat dan kekuatan yang belum pernah aku ketahui semisalnya pada berbagai obat. Bahkan bisa jadi perkaranya lebih besar daripada itu, akan tetapi sesuai dengan kekuatan iman dan kebenaran keyakinan. Wallahul Musta’an.” (Madarijus Saalikin, 1/69)

Cara yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim ini juga merupakan pendapat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz rahimahumallah. (Lihat Ahkaam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 65)

6. Menuliskan ayat-ayat Al-Qur`an pada selembar daun, atau yang sejenisnya, atau pada sebuah bejana lalu dihapus dengan air, kemudian air itu diminum atau dimandikan kepada orang yang sakit.

Cara ini diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Di antara yang membolehkannya adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Qilabah, Ahmad bin Hanbal, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Sedangkan yang memakruhkannya adalah Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Sirin, dan Ibnul ‘Arabi rahimahumullah. Al-Lajnah Ad-Da`imah sebagai tim fatwa negara Saudi Arabia pernah ditanya tentang hal ini. Mereka menjawab bahwa hal ini tidak datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Khulafa` Ar-Rasyidun, dan para shahabat yang lainnya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tidaklah shahih. Selanjutnya mereka menyebutkan nama-nama ulama yang membolehkan sebagaimana yang tadi telah kami singgung. Kemudian mereka berkata: “Bagaimana pun juga bahwa amalan yang seperti ini tidaklah dianggap syirik.” (Lihat Majmu’ Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah soal no. 184)

Demikianlah beberapa penjelasan tentang ruqyah syar’i yang bisa kami cantumkan dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak pembahasan tentang ruqyah syar’i yang tidak bisa kami sertakan di sini karena keterbatasan tempat. Semoga yang kami tuliskan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermanfaat bagi seluruh pembaca yang budiman. Akhirnya, kesempurnaan itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Dikutip dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=359 Judul : Menelusuri Ruqyah Syar’iyyah

Baca risalah terkait ini : Tata Cara Menangkal dan Menanggulangi Sihir

Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/

Kitab Haid

Firman Allah ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah: 222)

Bab Ke- 1: Bagaimana Permulaan Haid Itu dan Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam., “Ini merupakan suatu hal yang telah Allah tetapkan bagi anak cucu perempuan Adam.”[1]


Sebagian ulama mengatakan bahwa haid pertama kali datang pada bani Israel.[2]

Abu Abdillah (Imam Bukhari) berkata, “Akan tetapi, apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. lebih tepat.”


Bab Ke-2: Perintah Kepada Kaum Wanita Apabila Sedang Haid

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang tertera pada nomor 178.”)

Bab Ke-3: Mencuci Kepala Suami dan Menyisir Rambutnya oleh Seorang Istri yang Haid


167. Urwah pernah ditanya orang, “Bolehkah wanita haid melayaniku dan bolehkah wanita junub mendekatiku?” Urwah berkata, “Semuanya boleh bagiku, semuanya boleh melayaniku, dan tiada celanya. Aisyah telah menceriterakan kepadaku bahwa dia pernah menyisir rambut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika dia sedang haid, padahal ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sedang i’tikaf di masjid; beliau mendekatkan kepalanya kepadanya (Aisyah) dan dia (Aisyah) ada di dalam kamarnya, lalu ia menyisir beliau, padahal ia sedang haid.”

Bab Ke-4: Lelaki Membaca Al-Qur’an di Pangkuan Istrinya, Sedang Istrinya Itu dalam Keadaan Haid

Abu Wa’il mengutus pelayannya yang sedang haid supaya membawa (mengambil) Al-Qur’an dari Abu Razin dengan memegangnya pada gantungannya.[3]

168. Aisyah berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersandar di pangkuan aku, padahal aku sedang haid, kemudian beliau membaca Al-Qur’an.”

Bab Ke-5: Orang yang Menamakan Nifas Itu Haid

169. Ummu Salamah berkata, “Ketika aku bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. tidur-tiduran di kain hitam persegi empat (dalam satu riwayat: di lantai 1/83), tiba-tiba aku haid, lalu aku keluar dan mengambil pakaian haidku, lalu beliau bertanya, ‘[Mengapa kamu?, 2/233] Apakah kamu nifas?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau lalu memanggilku, lalu aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah.” [Ummu Salamah biasa mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dari satu bejana dan beliau suka menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.]


Bab Ke-6: Memeluk Wanita yang Sedang Haid

170. Aisyah berkata, “Salah seorang di antara kami apabila haid dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam ingin memeluknya, beliau menyuruhnya untuk berkain pada saat haidnya, kemudian beliau memeluknya” Aisyah berkata, “Siapakah diantaramu yang dapat mengendalikan syahwat nya sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam mengendalikan syahwat beliau?”


171. Maimunah berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ingin menggauli (memeluk) seseorang di antara istri-istrinya yang sedang haid, beliau menyuruhnya supaya memakai izar (kain).”


Bab Ke-7: Orang yang Haid Harus Meninggalkan Puasa


(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang tersebut pada Kitab ke-24 ‘az-Zakat’, Bab ke-44.”)

Bab Ke-8: Wanita Haid Boleh Melaksanakan Semua Manasik Haji Kecuali Thawaf di Masjidil Haram

Ibrahim mengatakan, ‘Tidak apa-apa wanita yang haid membaca ayat Al-Qur an.”[4]

Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak apa-apa seorang junub menbaca Al-Qur’an.[5]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam selalu mengingat (menyebut) Allah di segala waktu.[6]

Ummu Athiyyah mengatakan, “Kami (para wanita) diperintahkan agar orang-orang yang dalam keadaan haid dari golongan kami mengucapkan takbir hari raya sebagaimana takbirnya kaum lelaki dan berdoa.”[7]

Ibnu Abbas berkata, “Aku diberitahu oleh Abu Sufyan bahwasanya Heraklius meminta surat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam., lalu ia membacanya, tiba-tiba di dalamnya terdapat tulisan Bismillaahir-rahmaanir-rahiim ‘dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’ dan ayat yaa ahlal kitaabi ta’aalaw ilaa kalimatin…. ‘hai orang-orang ahli kitab! Marilah sama-sama kita berpegang pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni bahwa tak ada yang kita sembah selain Allah ….’.”[8]

Atha’ berkata mengenai apa yang diterimanya dari Jabir, yaitu, “Aisyah haid dan dia melaksanakan semua ibadah haji kecuali thawaf sekitar Ka’bah dan tidak shalat.”[9]

Hakam berkata, “Sesungguhnya, aku menyembelih binatang sedangkan aku dalam keadaan junub dan Allah telah berfirman, ‘Dan, janganlah kamu memakan makanan yang tidak disebut nama Allah (sewaktu menyembelihnya).’”[10]

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang disebutkan pada nomor 178.”)

Bab Ke-9: Istihadhah (Keluar Darah dari Rahim, Tetapi Bukan Darah Haid)


(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Fatimah binti Abi Hubaisy di muka pada nomor 127.”)

Bab Ke-10: Mencuci Darah Haid

172. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam., Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya apabila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apakah yang harus ia perbuat?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersabda, ‘Apabila pakaian salah seorang dari kamu terkena darah haid, gosoklah darah itu kemudian bersihkanlah dengan air. Setelah itu, kamu boleh shalat dengan memakai pakaianmu itu.’” (Dalam satu riwayat: gosoklah, kemudian hendaklah ia siram dengan air dan bolehlah ia shalat dengannya.)


173. Aisyah berkata, “Apabila salah seorang di antara kami datang haidnya, ia mengerik darah yang mengenai pakaiannya, mencuci bagian itu, dan menyiram sisanya dengan air,[11] kemudian dia melakukan shalat dengannya.”

Bab Ke-11: I’tikaf Seorang Wanita yang Sedang Istihadhah

174. Aisyah berkata bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam melakukan i’tikaf dan beri’tikaf pulalah sebagian istri-istrinya bersama beliau, sedangkan di antara istri-istrinya ada yang beristihadhah. Dia (istri Nabi) melihat darah (keluar dari kemaluannya) [dan warna kekuning-kuningan], dan mungkin dia (istri Nabi) meletakkan sebuah pinggan di bawahnya untuk (menampung) darah [ketika ia shalat]. Ikrimah mengira bahwasanya Aisyah melihat cairan jenis suatu tumbuhan, lalu ia berkata, ‘Tampaknya ini sesuatu yang dimiliki oleh si anu.”


Bab Ke-12: Bolehkah Seorang Wanita Melakukan Shalat dengan Pakaian yang Dipakainya Ketika Haid?


175. Aisyah berkata, ‘Tak seorang pun di antara kami yang mempunyai lebih dari satu pakaian yang juga kami pakai ketika kami sedang haid. Karena itu, apabila ia terkena sesuatu dari darah haidnya, ia menghilangkan kotoran itu dengan ludahnya kemudian menggosok-gosoknya dengan kukunya.”


Bab Ke-13: Menggunakan Wangi-Wangian Bagi Perempuan Ketika Mandi dari Haid

176. Ummu Athiyyah (dan dari jalan Muhammad bin Sirin, berkata, “Anak laki-laki Ummu Athiyyah meninggal dunia. Pada hari yang ketiga, dia meminta zat pewarna kuning untuk mengusap wajahnya, dan, 2/78) ia berkata, ‘Kami dilarang[12] (dalam satu riwayat: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. melarang, 6/187) berkabung (dalam satu riwayat: tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung) pada mayit lebih dari tiga hari kecuali atas suami, yaitu selama 4 bulan 10 hari dengan tidak bercelak, tidak berharum-haruman (dalam satu riwayat: tidak mengenakan harum-haruman kecuali baru suci dari haid), dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali kain dingin (buatan Yaman). Kami pun telah diberi kemurahan ketika suci, apabila salah seorang di antara kami mandi dari haidnya dengan setetes minyak harum. Kami pun dilarang mengiringkan jenazah [tetapi larangan ini tidak keras].’”
[Abu Abdullah berkata, "lafal al-qusth dan al-kust itu semacam lafal kaafuur dan qaafuuy, sedang nubdzah berarti qith'ah 'sepotong'." 6/186]


Bab Ke-14: Seorang Wanita Menggosok Tubuhnya Ketika Mandi Setelah Suci dari Haid, Bagaimana Cara Dia Mandi, dan MenWmakan Sepotong Kain yang Diberi Wewangian untuk Mengusap BekasBekas Darah


177. Aisyah berkata, “Seorang wanita [dari Anshar] bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam tentang cara dia mandi dari haid. Beliau lalu memerintahkan kepadanya bagaimana ia mandi. Beliau bersabda, ‘Ambillah sepotong kain yang diberi kasturi lalu bersucilah kamu dengannya [(tiga kali).' Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam merasa malu, lalu beliau memalingkan wajahnya, atau beliau bersabda: berwudhulah].’ Ia (wanita itu) bertanya, ‘Bagaimana aku bersuci dengannya?’ Beliau bersabda, ‘Mahasuci Allah, bersucilah!’” [Aisyah berkata, "Aku mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam., 8/159], maka aku menariknya ke arahku, lalu aku katakan, ‘Telusurilah dengan minyak harum pada bekas darah.’”

Bab Ke-15: Mandi Sehabis Haid

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah di muka.”)

Bab Ke-16: Perempuan Menyisir Rambutrrya Sewaktu Mandi Sehabis Haid

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang akan datang di bawah ini.”)

Bab Ke-17: Perempuan Melepaskan Sanggul Kepala Ketika Mandi Haid


178. Aisyah berkata, “Kami keluar memenuhi tanggal bulan Dzulhijjah; (dalam satu riwayat: pada tanggal lima Dzulhijjah, 4/7), [dan kami tidak melihat melainkan itu adalah bulan haji, 2/151], [lalu kami berihram untuk umrah, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada kami, 'Barangsiapa yang membawa binatang korban, hendaklah ia berihram untuk haji dan umrah, kemudian janganlah ia bertahallul sehingga selesai keduanya.' 5/124]. [Kami lalu turun di Sarif." Kata Aisyah, "Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam keluar menemui sahabat-sahabat beliau, 2/150], lalu bersabda, ‘Barangsiapa [di antara kamu yang tidak membawa binatang korban, dan] ingin berihram dengan umrah, hendaklah ia membaca talbiyah/berihram. (Dalam satu riwayat: ingin berumrah, silakan dia berumrah, dan barangsiapa yang membawa binatang korban, janganlah berihram untuk umrah) karena seandainya aku tidak menyerahkan hewan untuk disembelih niscaya aku membaca talbiyah untuk umrah.’ Sebagian dari mereka lalu membaca talbiyah untuk umrah dan sebagian dari mereka membaca talbiyah untuk haji [dan di antara kami ada yang membaca talbiyah untuk haji dan umrah].” [Aisyah berkata, "Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan beberapa orang sahabat beliau fisiknya kuat-kuat, mereka membawa binatang korban, maka mereka tidak dapat melakukan umrah], dan aku termasuk orang yang membaca talbiyah untuk umrah [dan tidak membawa binatang korban], [kemudian aku haid]. Aku mendapati hari Arafah, sedangkan aku haid. Aku lalu mengadu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam (dan dalam satu riwayat: lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam masuk menemuiku, sedangkan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, ‘Mengapa engkau menangis, wahai sayang?’ Aku menjawab, ‘[Demi Allah, aku ingin tidak haji tahun sekarang, l/79], aku mendengar apa yang engkau katakan kepada sahabat-sahabatmu seperti itu, tetapi aku terhalang melakukan umrah.’ Beliau berkata, ‘Mengapa engkau [apakah engkau nifas/haid? 6/235].’ Aku menjawab, ‘[Ya], aku tidak shalat’ Beliau bersabda, ‘Tidak apa-apa. Sesungguhnya, engkau hanya salah seorang putri-putri Adam. Allah telah menetapkan atasmu seperti apa yang ditetapkannya atas putri-putri Adam itu.) (Dalam satu riwayat: ‘Sesungguhnya, ini adalah suatu urusan (dalam satu riwayat: sesuatu) yang telah ditetapkan Allah atas anak-anak perempuan Adam, 1/77). Karena itu, tinggalkanlah umrahmu, uraikan rambutmu dan bersisirlah, dan bertalbiyahlah untuk haji (dalam satu riwayat: maka beradalah kamu dalam haji kamu, mudah-mudahan Allah akan memberimu haji).’ [Beliau bersabda, '[Maka] lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang sedang melakukan haji, hanya saja janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah[13] sehingga engkau suci.’ 2/171] Kemudian, aku kerjakan. [Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam datang, lalu thawaf di Baitullah dan sa'i antara Shafa dan Marwah, dan tidak bertahallul, dan beliau membawa binatang korban, lalu berthawaf pula istri-istri beliau dan sahabat-sahabat beliau bersama beliau, 2/196]. [Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. lalu memerintahkan orang yang tidak membawa binatang korban supaya bertahallul. Bertahallullah di antara mereka orang yang tidak membawa binatang korban; sedangkan istri-istri beliau tidak membawa binatang korban, maka mereka bertahallul." [Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersabaa, "Seandainya aku tahu akan menghadapi apa yang kutinggalkan ini niscaya aku membawa binatang korban dan aku bertahallul bersama orang banyak ketika mereka bertahallul." 8/128] [Aisyah berkata, "Aku lalu tidak melakukan thawaf di Baitullah."] [Aisyah berkata, "Kami lalu keluar di dalam haji beliau, sehingga kami datang di Mina, lalu aku suci/selesai haid."] [Aisyah berkata, "Kami lalu memasuki hari nahar dengan daging sapi. Aku bertanya, 'Apa ini?' Mereka menjawab, 'Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menyembelih korban untuk istri-istrinya [dengan sapi].’-Yahya berkata, ‘Aku lalu menyebutkan hadits ini kepada al-Qasim bin Muhammad, kemudian dia berkata, ‘Demi Allah, Aisyah telah menyampaikan hadits menurut apa adanya.” 4/7].-[Aku lalu keluar dari Mina, lalu aku thawaf ifadhah di Baitullah [pada hari nahar. 2/ 189]. Aku lalu keluar bersama beliau pada nafar akhir], sehingga ketika malam hashbah [beliau turun di tempat melempar jumrah di Mina dan kami pun turun bersama beliau.] [Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan membawa pahala umrah dan haji, sedangkan aku hanya kembali dengan haji?' (dalam satu riwayat: 'Sahabat-sahabatmu pulang dengan mendapat pahala haji dan umrah, sedang aku tidak lebih dari pahala haji saja?' 4/14) Beliau bersabda, 'Engkau tidak thawaf selama beberapa malam kita tiba di Mekah?' Aku menjawab, Tidak.' Beliau bersabda, 'Pergilah dengan saudara laki-laki [dan hendaklah ia mengiringimu] ke Tan’im, lalu bertalbiyahlah untuk umrah, kemudian waktumu untuk ini dan ini], [tetapi hal itu menurut kadar biayamu dan keletihanmu, 2/201].’

[Shafiyah binti Huyay mengeluarkan haid, 2/196] [pada malam nafar, lalu, 2/198] [ia berkata, 'Aku lihat dirimu menghalangi mereka (dalam satu riwayat: meng halangimu)].’ [Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. menginginkan terhadap Shafiyah apa yang biasa diinginkan seorang laki-laki kepada istrinya, lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia sedang haid.'] (Dalam satu riwayat: Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam hendak melakukan nafar, tiba-tiba Shafiyah berada di depan pintu kemahnya dengan muram, 6/184) [bersedih hati karena sedang haid, lalu, 7/110] beliau bersabda [kepadanya], [''Aqra haliqa'] -[dialek Quraisy]- [dia menghalangi kita?] [Apakah engkau tidak melakukan thawaf pada hari nahar? Dia menjawab, 'Tidak.' Beliau bersabda, 'T'idak apa-apa. Lakukanlah nafar] [kalau begitu].’ [Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. lalu memanggil Abdur Rahman bin Abu Bakar seraya bersabda, 'Keluarlah bersama saudara perempuanmu ini dari tanah haram, lalu hendaklah ia bertalbiyah untuk umrah, kemudian selesaikanlah. Setelah itu, datanglah kalian berdua ke sini karena aku menunggu kedatanganmu berdua.' Aku keluar ke Tan'im, [dan Abdur Rahman mengiringkan di bagian belakang tali unta, 6/141], [dan menaikkanku di atas pelana, 2/141-142].[14] Aku lalu bertalbiyah untuk umrah sebagai pengganti umrah aku [yang telah kulakukan] [sehingga setelah aku selesai, dan selesai thawaf, kemudian aku datang kepada beliau pada waktu dini hari).' [Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu menemuiku [sedangkan hari masih gelap], beliau naik dari Mekah dan aku turun ke sana, atau aku naik dan beliau turun]. (Dalam satu riwayat: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam menantikan Aisyah di Mekah bagian atas hingga Aisyah datang). [Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu bertanya, 'Apakah engkau sudah selesai?' Aku menjawab, 'Sudah.'] [Beliau bersabda, 'Ini adalah pengganti umrahmu]. [Allah lalu menjadikannya dapat menyelesaikan hajinya dan umrahnya, dan dalam hal itu tidak ada binatang korban, tidak ada sedekah, dan tidak ada puasa].’

[Berthawaflah orang-orang yang bertalbiyah umrah di Baitullah, dan sa'i antara Shafa dan Marwah, kemudian tahallul, kemudian mereka thawaf dengan satu kali thawaf (dalan satu riwayat: thawaf yang lain, 2/168) sesudah kembali dari Mina. Adapun orang-orang yang melakukan haji dan umrah bersama-sama, mereka melakukan thawaf satu kali. 2/149].[15] [Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu mengumumkan kepada para sahabatnya untuk berangkat, kemudian orang-orang berangkat [dan orang-orang yang thawaf sebelum shalat subuh, kemudian keluar], lalu berjalan menuju ke Madinah.]”


Bab Ke-18: Manusia yang Jadi Diciptakan dan yang Tidak Jadi Diciptakan

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang tercantum pada Kitab ke-82 ‘al-Qadar’.')

Bab Ke-19: Bagaimana Memulai Ihramnya Perempuan Haid dengan Haji dan Umrah

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah tersebut tadi.”)

Bab Ke-20: Permulaan dan Akhir Masa Haid


Ada beberapa orang wanita yang sama memberikan sehelai kain kepada Aisyah, yang di dalamnya ada kapasnya dan tampaklah di kapas itu warna kuning. Aisyah berkata, “Janganlah terburu-buru, sampai kamu melihat sehelai kain itu putih (maksudnya: berhentinya haid secara sempurna).”[16]

Putri Zaid binTsabit[17] diberi tahu bahwa beberapa wanita meminta lampu-lampu di malam hari untuk melihat apakah haid telah berhenti ataukah belum. Mengenai
hal itu putri Zaid mengatakan, “Kaum perempuan tidak perlu melakukan hal itu.” Dia pun mencela mereka.[18]

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya bagian dari hadits Bintu Abi Hubaisy yang tersebut pada nomor 127 di muka.’)

Bab Ke-21: Orang Haid Tidak Mengqadha Shalat

Jabir dan Abu Sa’id berkata dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam., “Ia (wanita yang sedang haid, pen) harus meninggalkan shalat.”[19]


179. Dari Mu’adzah bahwasanya seorang wanita berkata kepada Aisyah, “Apakah salah seorang di antara kita shalatnya mencukupi apabila ia suci?” Aisyah menjawab, “Apakah kamu seorang Haruri? Kami haid bersama Nabi, namun beliau tidak memerintahkan kami karenanya.” Atau, ia berkata, “Karni tidak mengerjakannya.”


Bab Ke-22: Tidur dengan Seorang Wanita Haid dan Wanita Itu Memakai Bajunya (Yang Dipakai Ketika Haid)


(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ummu Salamah yang tersebut pada nomor 169 di muka.”)


Bab Ke-23: Orang yang Mengenakan Pakaian Khusus untuk Haid Selain yang untuk Waktu Sucinya

(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ummu Salamah di atas.”)

Bab Ke-24: Hadirnya Orang Haid dalam Shalat Dua Hari Raya dan Dakwah Kaum Muslimin, Tetapi Mereka Menjauhkan Diri dari Tempat Shalat

Hafsah [binti Sirin, 2/9] berkata, “Kamu semua melarang gadis-gadis kami untuk keluar pada kedua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adlha). Datanglah seorang perempuan lalu singgah di gedung keluarga Khalaf, [lalu aku datang kepadanya], kemudian ia bercerita tentang saudara perempuannya-dan suami dari saudara perempuannya telah mengikuti peperangan bersama-sama dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam sebanyak dua belas kali-. Perempuan tersebut selanjutnya mengatakan, ‘Saudara perempuanku itu pernah mengikuti suaminya (dalam peperangan) sebanyak enam kali. Ia mengatakan, ‘Kami mengobati yang terluka, mengurus yang sakit.’ Saudara perempuanku bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, ‘Apakah tidak apa-apa bagi salah seorang di antara kami untuk tinggal di rumah kalau dia tidak mempunyai jilbab? Beliau menjawab, ‘Hendaknya sahabatnya mengenakan salah satu jilbabnya kepadanya dan hendaknya dia berpartisipasi di dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan dalam pertemuan-pertemuan keagamaan kaum muslimin.’ Pada waktu Ummu Athiyyah datang, aku datang kepadanya lalu] aku bertanya kepadanya, ‘Apakah Anda pernah mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam mengenai masalah ini (yakni bolehnya kaum wanita keluar untuk menghadiri kebaikan yang diadakan oleh kaum muslimin)?’ Ummu Athiyyah berkata, ‘Ya, semoga ayahku berkorban untuknya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.)-Ummu Athiyyah tidak menyebutkan sesuatu melainkan hanya berkata, ‘Semoga ayahku berkorban untuknya’-. Aku pernah mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘[Hendaklah] wanita-wanita merdeka (anak-anak gadis) dan wanita-wanita pingitan atau anak-anak gadis pingitan [Abu Ayyub ragu-ragu] dan wanita-wanita haid keluar [pada hari raya] untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah orang-orang mukmin, dan orang yang haid supaya mengucilkan diri dari mushalla.’ [Seorang perempuan bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?' Beliau menjawab, 'Hendaklah sahabatnya berpartisipasi dengan mengenakan jilbabnya kepadanya.' 1/93].’” Hafshah berkata, “Aku bertanya, ‘Bagaimana dengan wanita-wanita yang sedang haid?’ Jawabnya, ‘Bukankah wanita yang sedang haid juga hadir di Arafah, [menghadiri] ini dan [menghadiri] ini?’” (Dalam satu riwayat dari Hafshah, “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, hingga kami suruh keluar juga anak-anak gadis dari pingitannya, hingga kami keluarkan wanita-wanita yang sedang haid, lalu mereka berada di belakang orang banyak, lantas bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa sebagaimana mereka berdoa karena mengharapkan keberkahan dan kesucian hari itu.” 2/7)


Bab Ke-25: Perempuan Apabila Berhaid Tiga Kali dalam Sebulan dan Perihal Dibenarkannya Perempuan Mengenai Haid atau Mengandungnya, Mengingat Firman Allah Ta’ala, “… Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya….” (al-Baqarah: 228)


Ali dan Syuraih berkata, “Apabila seorang wanita memberikan bukti dari keluarganya yang terdiri atas orang-orang muslim yang baik dan mengatakan bahwa dia haid tiga kali dalam sebulan, dia dipercaya.”[20]

Atha’ berkata, “Haid itu sehari sampai lima belas hari.”[21]

Mu’tamir mengatakan tentang apa yang diterima dari ayahnya, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Sirin perihal seorang perempuan yang melihat adanya darah lagi sesudah sucinya selama lima hari, apakah itu haid?” Ibnu Sirin menjawab, “Kaum perempuan adalah lebih mengerti perihal yang Anda tanyakan itu.”[22]


(Aku berkata, “Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Fatimah binti Abi Hubaisy yang tercantum di muka pada nomor 12.”)


Bab Ke-26: Warna Kuning dan Keruh Pada Hari-Hari Selain Hari-Hari Waktu Kedatangan Haid

181. Ummu Athiyyah berkata, “Kami tidak menganggap kekuning-kuningan dan keruh (sebagai darah haid) sedikit pun.”

Bab Ke-27: Pembuluh Darah yang Merupakan Sumber Darah yang Keluar Waktu Istihadhah

182. Aisyah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata bahwa Ummu Habibah istihadhah selama tujuh tahun, lalu ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. mengenai apa yang dialaminya itu, kemudian beliau menyuruh mandi, lalu beliau bersabda, “Istihadhah ini dari pembuluh darah.” Karena itu, Ummu Habibah mandi untuk setiap hendak mengerjakan shalat.


Bab Ke-28: Perempuan yang Haid Sesudah Melakukan Thawaf Ifadhah

183. Thawus berkata dari ayahnya, “Ibnu Abbas berkata, ‘Seorang wanita mendapatkan rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk pergi (pulang ke rumah) apabila dia haid (dalam satu riwayat: setelah thawaf ifadhah).’ Ibnu Umar berkata bahwa dia tidak boleh pergi, tetapi kemudian terakhir aku mendengar dia berkata [sesudah itu], ‘Sesungguhnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan rukhshah (dispensasi) untuk kaum perempuan yang haid tersebut.’”

Bab Ke-29: Apabila Seorang Wanita yang Mengalami Istihadhah Melihat Tanda-Tanda Kesucian dari Haidnya

Ibnu Abbas berkata, “Dia hendaknya mandi dan shalat meskipun (dia suci) cuma satu jam dan dia dapat melakukan (hubungan seksual bersama suaminya) setelah shalat, dan shalat adalah lebih besar dan lebih penting (daripada apa pun juga).”[23]

Bab Ke-30: Melaksanakan Shalat Mayit Bagi Seorang Wanita yang Wafat Sewaktu (atau Sesudah) Melahirkan dan Cara (Melaksanakan Shalat) dan Sunnahnya

184. Samurah bin Jundub berkata, “Seorang wanita (dalam satu riwayat: aku shalat di belakang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam atas jenazah seorang wanita, 2/91) yang meninggal karena melahirkan (dalam satu riwayat: pada waktu nifas), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menshalatinya dengan posisi lurus di pertengahan (tubuh)nya.”



Catatan Kaki:

[1] Ini adalah bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada Bab ke-17, hadits nomor 178.

[2] Al-Hafizh berkata, “Seakan-akan dia mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Ibnu Mas’ud dengan isnad yang sahih, katanya, ‘Para laki-laki dan para perempuan dari bani Israel biasa melakukan shalat bersama-sama. Akan tetapi, kaum perempuan suka menghambat laki-laki, lalu Allah menimpakan haid kepada mereka dan melarang mereka ke masjid.’ Abdur Razzaq juga meriwayatkan riwayat yang semakna dengan ini dari Aisyah.”

[3] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih darinya.

[4] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/235) dengan sanad hasan darinya. Dia itu adalah Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i, seorang faqih (ahli fikih).

[5] Di-maushul-kan oleh Ibnul Mundzir dengan lafal, “Sesungguhnya, Ibnu Abbas biasa membaca wiridnya meskipun dia dalam keadaan junub.”

[6] Di-maushul-kan oleh Muslim (1/194) dan lainnya dari hadits Aisyah, dan di-takhrij dalam Shahih Sunan Abi Dawud (14) dan dalam ash-Sahihah (406). Diriwayatkan juga bahwa Aisyah pernah meruqyah (menjampi) saudara perempuannya, yaitu Asma’, padahal Aisyah sedang haid. Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/235) dan sanadnya hasan.

[7] Ini adalah bagian dari hadits Ummu Athiyah yang maushul yang akan disebutkan beberapa bab mendatang, yaitu pada Bab ke-24.

[8] Ini adalah bagian dari hadits tentang kisah Heraklius bersama Abu Sufyan dan di-maushul-kan oleh Imam Bukhari dalam beberapa tempat, dan disebutkan pada Kitab ke-56 “al-Jihad”, Bab ke-102.

[9] Ini adalah bagian dari hadits Jabir dalam kisah Aisyah yang disebutkan secara maushul pada Kitab ke-94 “at-Tamanni”, Bab ke-3.

[10] Di-maushul-kan oleh al-Baghawi di dalam al-Ja’diyyat dengan sanad sahih darinya. Dia adalah al-Hakam bin Uyainah al-Kufi, seorang faqih.

[11] Artinya, hendaklah ia mencuci bagian pakaian yang tidak terkena darah. Disebutkan di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (276), “Kemudian, hendaklah ia menggosoknya dengan air, lalu menyiramkan air ke pakaiannya, kemudian shalat dengannya.” Sanadnya hasan.

[12] Riwayat ini disebutkan oleh Imam Bukhari secara mu’allaq di sini dan di-maushul-kannya dalam “Ath-Thalaq” (6/187), dan di-maushul-kan juga oleh al-Baihaqi. Akan tetapi semua ini terluput atas al-Hafizh di dalam syarahnya terhadap kalimat terakhir di dalam “Al-Janaiz”, bahkan terjadi kesalahpahaman yang harus dijelaskan di sini. Beliau mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Ismaili dengan lafal, ‘Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. melarang kami…’ Seandainya beliau ingat apa yang aku sebutkan ini niscaya beliau tidak perlu menisbatkan riwayat ini kepada al-Ismaili.

[13] Jabir menambahkan di dalam haditsnya, “Dan, janganlah engkau mengerjakan shalat,” dan akan disebutkan haditsnya pada akhir kitab ke-94 “at-Tamanni”, Bab ke-3, dan sudah disebutkan barusan secara mu’allaq pada nomor 61.

[14] Tambahan ini diriwayatkan secara mu’allaq oleh Imam Bukhari dan di-maushul-kan oleh Abu Nu’aim dalam al Mustkhraj.

[15] yakni selain thawaf (sa’i) antara Shafa dan Marwah sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam hadits Jabir yang diriwayatkan Muslim. Ini adalah bagi yang melakukan haji qiran sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut, demikian juga yang melakukan haji ifrad sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik dalam hadits ini. Adapun orang yang melakukan haji tamattu’, ia melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah lagi sebagaimana lahir hadits ini, dan yang diriwayatkan dengan jelas dalam hadits Ibnu Abbas yang akan disebutkan secara mu’allaq dalam kitab ini.

[16] Di-maushul-kan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (1/77-78) dengan sanad hasan darinya.

[17] Di-maushul-kan juga oleh Imam Malik, tetapi hal ini perlu mendapat perhatian, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh. Putri Zaid ini tidak diketahui namanya.

[18] Ibnu Bathhal dan lainnya berkata, “Karena hal itu menimbulkan kesulitan dan memberatkan, juga tercela.”

[19] Hadits Jabir ini merupakan bagian dari haditsnya yang tersebut pada Kitab ke-94 “at-Tamanni”, Bab ke-3 tentang haidnya Aisyah pada waktu haji. Di situ disebutkan “hanya saja ia tidak boleh melakukan thawaf dan tidak boleh melakukan shalat”. Adapun hadits Abu Sa’id disebutkan secara maushul pada Kitab ke-24 “az-Zakat”, Bab ke-44. Di situ disebutkan “Bukankah wanita itu apabila sedang haid dia tidak shalat dan tidak berpuasa?”

[20] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/212 -213) dengan sanad sahih dari keduanya dan pernyataan ini diucapkannya dalam sebuah kisah.

[21] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad sahih darinya.

[22] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/210 dan 211) secara terpisah, sedangkan sanad yang menggunakan kata yaum adalah hasan dan sanad lainnya sahih.

[23] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/203) dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas tanpa perkataan mencampuri (menyetubuhi). Akan tetapi, yang ada perkataan ini diriwayatkan oleh darinya (1/207) dengan sanad yang lemah. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah sebelumnya.

Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari – Penulis: Syaikh Al-Albani